Category Archives: Sejarah Bogor

GUNUNG SALAK BOGOR – THE HISTORY


Gunung Salak memang tidak setinggi Gunung Gede, tetangganya. Namun tingkat kesulitan yang dimiliki Gunung Salak begitu angker untuk didaki. Termasuk keberadaan Kawah Ratu yang ada di wilayahnyaGunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur, yakni jalur Wana Wisata Cangkuang Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Wana Wisata Curug Pilung, Cimelati, Pasir Rengit dan Ciawi. Belum lagi jalur-jalur tidak resmi yang dibuka para pendaki ataupun masyarakat sekitar.
Banyaknya jalur menuju puncak Gunung Salak dan saling bersimpangan tentu membingungkan para pendaki. Banyak diantaranya yang kemudian tersasar dan menghilang.
Banyaknya jalur pendakian banyak pula mitos atau kisah yang menyelimuti Gunung Salak. Selain kawasan ini dianggap suci bagi kalangan masyarakat Sunda wiwitan karena dianggap sebagai tempat terakhir Prabu Siliwangi.
Lokasi ini ternyata juga disebut banyak menyimpan harta karun peninggalan Belanda. Harta itu berupa emas murni yang dimasukan di dalam peti. Dan peti-peti itu kemudian dikubur di empat titik terpisah di area Gunung Salak.
Harta tersebut sengaja di kubur VOC, karena takut diambil tentara Jepang yang masuk ke Indonesia 1942. “Mereka (VOC) takut emas-emas yang mereka kumpulkan direbut Jepang yang waktu itu berusaha mengusir Belanda dari Indonesia,” ujar tokoh masyarakat Cidahu, Sukabumi.
Setelah sukses menguburnya, mereka kemudian membuat peta penunjuk arah yang disertai tanda-tanda fisik lokasi. Waktu itu VOC berharap ketika mereka datang lagi ke Indonesia harta yang disimpan bisa diambil kembali.
Tapi kenyataanya setelah Jepang keluar, Indonesia kemudian merdeka tahun 1945. Akhirnya serdadu Belanda dan VOC tidak bisa masuk lagi ke Indonesia. Tentu saja harta-harta yang dikubur itu tidak bisa diambil kembali.
Kabar tentang adanya harta timbunan itu di Gunung Salak sempat beredar tahun 1953. Waktu itu, sejumlah warga Cidahu mendengar kalau harta karun itu di kubur di wilayah kaki Gunung Salak tersebut. Info yang mereka terima tanda fisik tempat penyimpanan harta itu adalah tembok yang tebalnya 120 centimeter persegi.
Ada lagi yang mengatakan kalau disekitar Kawah Ratu ada juga harta yang ditimbun. Alhasil, karena kabar tersebut, hampir seluruh warga Cidahu beramai-ramai mencarinya. Setiap ada tembok sisa peninggalan Belanda mereka hancurkan. Dalam beberapa bulan, tembok sisa pembatas perkebunan milik Belanda dengan penduduk pribumi saat itu, langsung ludes menjadi puing.
Sementara warga yang coba mencari harta itu di sekitar Kawah Ratu banyak yang tewas karena menghadapi medan yang berat di Gunung Salak. Arwah-arwah inilah yang kabarnya bergentayangan di sekitar Kawah Ratu.
Kini kabar harta itu kemudian muncul kembali pertengahan 2006 lalu. Bajari saat sedang menunggu warung miliknya, didatangi tiga pria. Mereka mengaku berasal dari Jakarta. Bahkan salah satu diantaranya mengaku salah seorang cucu soekarno dari Guntur, anak sulung Soekarno.
Tiga pria itu menanyakan tentang beberapa tanda fisik, yang katanya tempat penyimpanan harta karun yang sempat menghebohkan warga Cidahu 1953 lalu. Tanda-tanda fisik yang tertera di peta adalah berupa aliran sungai, pohon bambu, pohon damar dan sebuah tembok berukuran 120 centimeter persegi.
Namun oleh Bajari dikatakan tanda-tanda yang tertera di peta sudah tidak ada lagi. Ukuran wilayah yang tertera di peta tersebut juga sudah banyak yang bergeser sehingga sulit untuk melacaknya.
Menurut pengakuannya Bajari di sekitar Gunung Salak memang banyak harta yang ditanam oleh para pengusaha asal Belanda yang kabur sebelum pendudukan Jepang ke Indonesia. Alhasil kisah emas VOC membuat Gunung Salak semakin misterius.

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

MAKAM ABAH FALAK


Ternyata di kota Bogor terdapat beberapa masjid tua loch, salah satunya adalah masjid Al-Falak yang terdapat di desa Pagentongan kelurahan Loji kecamatan Bogor Barat, yang dulunya masyarakat di sekitar sana masih kental dengan agama Hindu serta ilmu-ilmu perdukunan. Proses pembangunan Masjid Al-Falak di awali pada tahun 1901. Wow!… Sudah cukup tua juga yach. Karena usianya yang sudah cukup tua masjid Al-Falak pernah di renovasi sampai tiga kali sehingga menghilangkan bentuk aslinya.

Oh Iya…. sebelum kita melangkah lebih jauh tentang masjid Al-Falak. Apakah kalian tahu apa arti dari Al-Falak itu sendiri? Falak adalah ilmu perbintangan atau Astronomi. Kenapa masjid itu di berikan nama Al-Falak ?, jawabannya karena KH. Falak atau  yang memiliki  nama asli Tubagus Muhammad Falak adalah pendiri dari masjid itu. Selain mendirikan masjid ternyata Abah Falak juga mendirikan pesantren lohh guys..!!!!. Tentang Masjid AL-Falak , ternyata dulu presiden pertama kita  Ir Soekarno atau biasa di panggil Bung Karno pernah mendatangani Masjid AL-Falak tiap Senin malam dan Kamis malam pukul 23.00 WIB. Saat itu beliau bertemu langsung dengan Abah Falak, katanya sih bung karno datang menemui abah Falak untuk di mintai nasehatnya….Kerrreeeennn kannn….!!!!!!

Kekaguman kita bukan hanya di situ lohh…karena selain bung karno yang pernah mendatangi masjid itu .. mantan Presiden Soeharto dan para pejabat seperti  Gubernur pernah juga ikut bertamu di sana. Oh. Ya apa kalian tahu menteri Agama kita yang sekarang ???

Yupz…Bener banget, Bapak Suryadama Ali. Ternyata beliau adalah alumnus dari pesantren Al-Falak. Subhanallah!!. Di samping itu ada beberapa tradisi yang ditinggalkan Abah Falak, yaitu tradisi pagentongan yang di peringati setiap Maulid Nabi tiba dengan mengumpulkan ambeng-ambeng dari masyarakat setempat yang di ikuti oleh 5 RT. Kemudian di kumpulkan di Masjid Al Falak untuk di bagikan lagi kepada masyarakat dengan diiringi oleh tim marawis, istilahnya dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat…hhehehehe. Perayaan itu di hadiri hampir 4000 orang, wow buanyakk banget, karena perayaan itu sangat unik dan menarik. Bahkan acara di desa pagentongan ini pernah di liput oleh televisi nasional.

Selain tradisi pagentongan ada juga tradisi pasaran . Tahu ga tradisi pasaran …!?. Tradisi pasaran yaitu pengajian besar pada bulan Ramadhan untuk menamatkan suatu kitab tertentu yang di hadiri oleh para santri senior dan beberapa kiai yang datang dari berbagai daerah yang berjauhan.  Akan tetapi tradisi itu sudah lama ditinggalkan oleh masyarakat Pagentongan.  Huuff…sayang banget yach guys …!!

Saat ini hanya tradisi pagentonganlah yang masih tetap dilakukan oleh masyarakat pagentongan.

Abah Falak dikenal sebagai orang yang dermawan, rendah hati, tidak memandang status sosial setiap tamu yang mendatanginya karena sifat yang ia miliki itu, banyak peziarah yang sengaja datang dari luar kota hanya untuk berziarah ke makam Abah Falak yang terdapat di areal komplek Pondok Pesantren Al-Falak. Bahkan dihitung-hitung ada sepuluh bus yang silih berganti menempati tempat parkir di sekitar makam beliau. Mereka berkunjung ke makam Abah Falak saat menjelang Ramadhan dan peringatan Maulid Nabi tiba.

Abah Falak wafat pada tahun 1972 diusianya yang ke 130 tahun, beliau meninggal karena sakit ringan yang dideritanya.  Beliau juga meninggalkan  tujuh orang istri dan beberapa anaknya. Desa pagentongan adalah saksi bisu tenggelamnya Masjid Al Falak beserta sejarahnya, tetapi jasa dari abah Falak terhadap desa itu tidak akan pernah hilang begitu saja dan tidak pernah tenggelam seperti masjid dan sejarahnya.

Nah gimana dengan ceritanya guys…seeruu bukan ??? Hmm….sebagai generasi muda kita harus lebih mengenali kota kita sendiri begitupun dengan sejarahnya dan jangan biarkan sejarah yang ada di kota kita hilang begitu saja karena di makan zaman atau ditelan oleh waktu. Ingat kata Bung Karno Jasmerah (Jangan Pernah Lupakan sejarah)

Okey guys…Semoga tulisan ini bermanfaat buat kalian…. Amien. LAPORAN RIZKY DAMAYANTI—

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

KEDUNGHALANG BOGOR TEMPOE DOELOE


Sejarah tempat itu terus bergulir…sebuah tempat yang menjadi saksi bisu perubahan peradaban kota, dimana para pelakunya kini tinggal segelintir saja. Menerawang dan membayangkan tempat dimana dulu para peneliti tanaman karet dan coklat beristirahat…sebuah taman dengan kompleks bangunan tempat tinggalnya…dan kami menyebutnya Kedoenghalang Gununggede. Entah apa jadinya jika Thomas Karsten tidak meng-inisiasi adanya pembangunan kota pada masa itu,..ehhhmmm mungkin kompleks pemukiman ini tidak akan terbentuk. Tahun 1926 sampai 1930 masa pembangunan itu menjadi catatan penting awal tumbuhnya kawasan hunian ini. Dibangun untuk dijadikan rumah-rumah peneliti Belanda, pegawai pemerintah atau rumah bagi penguasa kolonial. Kedoenghalang memiliki suasana asri yang tak terbantahkan, masih bisa kami saksikan deretan pohon dan kicauan burung dipagi hari. Sungguh indah untuk dikenang. Bangunanannya kokoh, atap yang tersusun dari rangka kayu jati membuktikan kekuatan itu…kami biasa bercengkerama diatas atap rumah. Tidak heran jika masa itu kawasan ini merupakan kawasan elit, hal ini tercermin dari penamaan ruas jalan dengan nama-nama gunung. Dulu bermain bola disisi luar Jl Guntur menjadi keasyikan anak muda disini selain Sempur sebagaimana di Jl Pangrango. Termasuk bermain tennis di Jl Papandayan. Untuk hiburan gedung Sociteit di Jl Halimun nampak akrab bagi orang Belanda untuk mengadakan pesta dansa dengan iringan Biola. Pada sebuah tempat terbuka yang dikenal dengan nama Vontland dikenal juga dengan nama Plant zone dan sekarang orang menyebutnya Taman Kencana. Tempat dimana kami biasa beristirahat dan bersantai…deretan delman yang menunggu penumpang tampak mengusik dengan ringkikan kuda-kudanya. Dua gedung pusat pendidikan dan penelitian yang mengapit kawasan ini nampak kokoh mempertegas intelektualitas para penghuninya. Salah satunya gedung sekolah kehewanan atau FKH IPB (sekarang)..bahkan pameo yang berlaku saat itu untuk bisa jadi dokter hewan wajib bisa naik kuda. Masa kolonial banyak noni-noni Belanda yang menghabiskan waktu ditempat ini. Saat Jepang berkuasa (1942) mulailah babak keindahan dan keasrian itu berubah. Rumah-rumah disini menjadi sitaan mereka. Beberapa rumah menjadi penjara atau ruang tahanan tawanan jepang, umumnya wanita dan anak-anak Indo Belanda, salah satunya sebuah rumah di Jl Papandayan (Rumah Corrie). Kemudian masa kemerdekaan militer mengambil alih dan menguasai kawasan ini untuk dijadikan tempat tinggal para perwiranya. Lalu Gemeente mengambil alih untuk ditempati para pegawai kota praja. Saat itu pemerintah memiliki kebijakan untuk menyewakan rumah-rumah disini pada siapa yang mampu membayar. Dari sinilah proses hak milik dilakukan. Salah satunya kebijakan wajib membeli rumah bagi para penyewa..tak heran dari orang Belanda, Tionghoa, hingga orang lokal memiliki sejarah tinggal ditempat ini. Sampai tahun 1950 masih bisa kami nikmati keindahan itu. Kini masa itu telah terlewati kondisinya jauh berbeda. Pohon-pohon tak seramai dulu, tempat kami bercengkerama sudah tidak ada. Banyak diantara kami yang telah pergi…kami berganti tetangga, berganti suasana..dari 1930 hingga 2008 ini kawasan kedoenghalang tetap menyimpan cerita indah untuk dibagi. Dari kuda, delman, zundapp hingga bemo. Walaghara_Patih, sebagaimana penuturan Ibu Lily Muslihun, warga Jl Papandayan)

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

BOGOR DI JAMAN KERAJAAN


Tersebutlah cerita tentang para raja yang pernah memimpin wilayah ini. Hiduplah mereka dengan segala pengaruh yang mereka jalankan pada masanya. Dari masa kejayaan sampai pada masa runtuhnya kerajaan. Di tempat kita berdiri saat ini, kemakmuran pernah dirasakan setiap penduduk yang tinggal. Kesejahteraan yang melanda dari setiap hasil bumi yang dikelola masyarakat, dibantu oleh para pejabat-pejabat pemerintahan yang berkuasa. Setiap orang taat dan patuh pada ajaran agama yang diyakini. Sehingga semua hidup rukun, damai dan sejatera pada sebuah masa yang pernah dicatat oleh sejarah. Masa kejayaan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang adil dan gagah berani. Dan semua itu pernah terjadi disini, Pakuan Pajajaran yang berada di Kota Bogor. Pada masa Pajajaran, dimana Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) menjadi seorang raja yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521), mengantarkan kerajaan mencapai puncak perkembangannya. Kejayaannya tidak hanya dikenang oleh masyarakat Pajajaran, tapi juga dicatat dan diingat betul oleh kerajaan-kerajaan lain dan oleh mereka yang tak pernah berhenti takjub akannya. Dari Carita Parahiyangan menyebutkan, “Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama”. Bahkan seorang Portugis sekelas Tome Pires pada masa-masa itu ikut mencatat kemajuan jaman Sri Baduga dengan komentar “The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men” (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur). Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam jaman Pajajaran. Sepeninggal Prabu Siliwangi, kejayaan Pajajaran yang berpusat di Kota Bogor ini diteruskan oleh Surawisesa yang merupakan putera Prabu Siliwangi dari Mayang Sunda yang juga merupakan cucu dari Prabu Susuktunggal. Carita Parahiyangan menuliskan Surawisesa dengan sebutan “kasuran” (perwira), “kadiran” (perkasa) dan “kuwanen” (pemberani). Selama 14 tahun memerintah ia melakukan 15 kali pertempuran. Tapi perkembangan kerajaan lain di sekitar Pajajaran juga berkembang pesat. Persekutuan Kerajaan Demak dan Cirebon, belum lagi pasokan peralatan perang meriam yang dimiliki Demak, membuat posisi Surawisesa dengan wilayah kekuasaannya semakin terdesak. Akhirnya Perjanjian damai dengan Cirebon memberikan peluang kepada Surawisesa untuk mengurus dalam negerinya. Setelah berhasil memadamkan beberapa pemberontakkan, ia berkesempatan menerawang situasi dirinya dan kerajaannya. Warisan dari ayahnya hanya tinggal setengahnya, itupun tanpa pelabuhan pantai utara yang pernah memperkaya Pajajaran dengan lautnya. Dengan dukungan 1000 orang pasukan belamati yang setia kepadanyalah, ia masih mampu mempertahankan daerah inti kerajaannya. Kondisi ini membuat Surawisesa terkenang akan kebesaran sang ayahanda. Rasa hormat akan mendiang ayahanda dan rasa bersalah akan kegagalan menjaga amanat yang diberikan kepadanya dalam menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Pajajaran, kemungkinan mendorong Surawisesa untuk membuat sebuah sasakala (tanda peringatan) untuk sang ayah. Batu peringatan inilah yang kemudian disebut dengan prasasti Batutulis. Tertuliskan tentang karya-karya besar yang telah dilakukan oleh Susuhunan Pajajaran. Masa-masa Pajajaran terus bergulir, Surawisesa digantikan oleh puteranya, Ratu Dewata yang memerintah dari tahun 1535-1543. Berbeda dengan Surawisesa yang dikenal sebagai panglima perang yang perwira, perkasa dan pemberani, Ratu Dewata sangat alim dan taat kepada agama. Ia melakukan upacara sunatan (adat khitan pra-Islam) dan melakukan tapa pwah-susu, hanya makan buah-buahan dan minum susu. Atau yang saat ini lebih dikenal dengan Vegetarian. Sikap Ratu Dewata yang alim dan rajin bertapa, menurut norma kehidupan jaman itu tidak tepat karena raja harus “memerintah dengan baik”. Tapa-brata seperti yang dilakukannya itu hanya boleh dilakukan setelah turun tahta dan menempuh kehidupan manurajasuniya seperti yang telah dilakukan oleh Wastu Kancana. Kondisi kerajaan yang lengah, kemudian dimanfaatkan oleh Pasukan Banten untuk menyerang secara diam-diam. Menurut Carita Parahiyangan, pada masa pemerintahan Ratu Dewata ini terjadi serangan mendadak ke Ibukota Pakuan dan musuh “tambuh sangkane” (tidak dikenal asal-usulnya). Ratu Dewata masih beruntung karena memiliki para perwira yang pernah mendampingi ayahnya dalam 15 kali pertempuran. Sebagai veteran perang, para perwira ini masih mampu menghadapi sergapan musuh. Di samping itu, ketangguhan benteng Pakuan peninggalan Sri Baduga menyebabkan serangan kilat Banten (dan mungkin dengan Kalapa) ini tidak mampu menembus gerbang Pakuan. [Alun-alun Empang sekarang pernah menjadi Ranamandala (medan pertempuran) mempertaruhkan sisa-sisa kebesaran Siliwangi yang diwariskan kepada cucunya]. Karena ketidakmampuan memimpin kerajaan inilah, Ratu Dewata dicela oleh penulis Carita Parahiyangan dengan sindiran (kepada para pembaca), “Nya iyatna-yatna sang kawuri, haywa ta sira kabalik pupuasaan”. Yang artinya “Maka berhati-hatilan yang kemudian, janganlah engkau berpura-pura rajin puasa”. Rupa-rupanya penulis kisah kuno itu melihat bahwa kealiman Ratu Dewata itu disebabkan karena ia tidak berani menghadapi kenyataan. Penulis kemudian berkomentar pendek “Samangkana ta precinta” (begitulah jaman susah). Raja Pajajaran keempat adalah Ratu Sakti yang berkuasa pada kurun waktu 1543-1551. Jika Ratu Dewata bertindak serba alim, Ratu Sakti bersikap keras bahkan terkesan kejam dan lalim. Tidak banyak catatan dari Carita Parahiyangan yang melukiskan tentang raja ini. keterangan yang menyebutkan bahwa, banyak rakyat dihukum mati tanpa diteliti lebih dahulu salah tidaknya. Harta benda rakyat dirampas untuk kepentingan keraton tanpa rasa malu sama sekali. Kemudian raja ini melakukan pelanggaran yang sama dengan Dewa Niskala yaitu mengawini “estri larangan ti kaluaran” (wanita pengungsi yang sudah bertunangan). Masih ditambah lagi dengan berbuat skandal terhadap ibu tirinya yaitu bekas para selir ayahnya. Karena itu ia diturunkan dari tahta kerajaan. Ia juga tak kalah beruntung dengan Ratu Dewata, karena waktu itu sebagian besar pasukan Hasanuddin dan Fadillah dari Banten sedang membantu Sultan Trenggana asal Demak untuk menyerbu Pasuruan dan Panarukan. Nilakendra atau Tohaan di Majaya naik tahta sebagai penguasa Pajajaran yang kelima pada kurun waktu 1551-1567. Pada saat itu situasi kenegaraan telah tidak menentu dan frustasi telah melanda segala lapisan masyarakat. Carita Parahiyangan memberitakan sikap petani “Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan” (Petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Ini merupakan berita tidak langsung, bahwa kelaparan telah berjangkit. Frustasi di lingkungan kerajaan lebih parah lagi. Ketegangan yang mencekam menghadapi kemungkinan serangan musuh yang datang setiap saat telah mendorong raja beserta para pembesarnya memperdalam aliran keagamaan Tantra. Aliran ini mengutamakan mantera-mantera yang terus menerus diucapkan sampai kadang-kadang orang yang bersangkutan merasa bebas dari keadaan di sekitarnya. Seringkali, untuk mempercepat keadaan tidak sadar itu, digunakan minuman keras yang didahului dengan pesta pora makanan enak. Sebuah catatan menuliskan, “Lawasnya ratu kampa kalayan pangan, tatan agama gyan kewaliya mamangan sadrasa nu surup ka sangkan beuanghar”. (Karena terlalu lama raja tergoda oleh makanan, tiada ilmu yang disenanginya kecuali perihal makanan lezat yang layak dengan tingkat kekayaan). Selain itu, Nilakendra malah memperindah keraton, membangun taman dengan jalur-jalur berbatu (“dibalay”) mengapit gerbang larangan. Kemudian membangun “rumah keramat” (bale bobot) sebanyak 17 baris yang ditulisi bermacam-macam kisah dengan emas. Mengenai musuh yang harus dihadapinya, sebagai penganut ajaran Tantra yang setia, ia membuat sebuah “bendera keramat” (“ngibuda Sanghiyang Panji”). Bendera inilah yang diandalkannya menolak musuh. Meskipun bendera ini tak ada gunanya dalam menghadapi laskar Banten karena mereka tidak takut karenanya. Akhirnya nasib Nilakendra dikisahkan “alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan” (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton). Dan sejak saat itu, Kota Bogor yang merupakan ibukota Pakuan telah ditinggalkan oleh raja dan dibiarkan nasibnya berada pada penduduk dan para prajurit yang ditinggalkan. Ditengah kekayaan yang tersisa dan ditengah ancaman para kerajaan lain yang hendak menguasai. Carita Parahiyangan kemudian menyebutkan, bahwa Raja Pajajaran yang terakhir adalah Nusya Mulya. Atau dalam naskah-naskah Wangsakerta ia disebut Raga Mulya alias Prabu Suryakancana yang berkuasa pada kurun waktu 1567 – 1579. Raja ini tidak berkedudukan di Pakuan, tetapi di Pulasari, Pandeglang. Oleh karena itu, ia disebut Pucuk Umun (Panembahan) Pulasari. Diperkirakan raja ini berkedudukan di Kaduhejo, Kecamatan Menes pada lereng Gunung Palasari. Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, “Pajajaran sirna ing ekadaca cuklapaksa Weshakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Cakakala” (Pajajaran lenyap pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka). Yang Kira-kira jatuh pada tanggal 8 Mei 1579 M. Diberitakan juga dari Sejarah Banten akan keberangkatan pasukan Banten ketika akan melakukan penyerangan ke Pakuan dalam pupuh Kinanti yang artinya, “Waktu keberangkatan itu terjadi bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu”. Naskah Banten tersebut lebih lanjut memberitakan, bahwa benteng kota Pakuan baru dapat dibobol setelah terjadi “penghianatan”. Komandan kawal benteng Pakuan merasa sakit hati karena “tidak memperoleh kenaikan pangkat”. Ia adalah saudara Ki Jongjo, seorang kepercayaan Panembahan Yusuf. Tengah malam, Ki Jongjo bersama pasukan khusus menyelinap ke dalam kota setelah pintu benteng terlebih dahulu dibukakan saudaranya itu. Kisah itu mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas justru menggambarkan betapa tangguhnya benteng Pakuan yang dibuat Siliwangi. Setelah ditinggalkan oleh raja selama 12 tahun, pasukan Banten masih terpaksa menggunakan cara halus untuk menembusnya. Dan berakhirlah masa Pajajaran yang hadir dalam kancah berdirinya kerajaan-kerajaan nusantara pada kurun waktu 1482-1579 dibawah masa para raja yang memimpinnya. Dari mulai raja yang bijaksana, sampai raja yang bertindak seenaknya. Dari yang mencintai dan melindungi rakyatnya, sampai pada raja yang berbuat keji terhadap rakyatnya. Ratusan tahun telah berlalu, dan masa para raja telah berakhir. Tapi hal ini merupakan cerminan bagi para pemimpin-pemimpin setelahnya. Ditengah kancah perpolitikan yang hadir saat ini. Dimana banyak orang berlomba untuk menjadi pemimpin kota dan wakil rakyat yang berkeinginan memperjuangkan nasib para masyarakat yang ada didalamnya. Semoga kita dapat memiliki pemimpin dan para wakil rakyat yang dapat membawa Kota Bogor ini kearah yang lebih baik.

Disusun oleh Ridha Ichsan dengan sumber, “Buku Sejarah Bogor Jilid I, Saleh Danasasmita”

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

SEJARAH KERETA DI BOGOR


Kereta api siapa yang tidak kenal dengan moda transportasi yang satu ini. Sebuah sarana angkutan massal yang cukup diminati berbagai kalangan. Di Indonesia untuk masa-masa sekarang ini, kereta api menjadi sarana angkutan yang cukup murah. Tapi siapa sangka jika alat transportasi ini pada masanya merupakan simbol kehidupan modern yang dinikmati kalangan elit bangsawan pada akhir abad ke-19. Kereta api mulai dikenal di wilayah Jawa pada tahun 1863. Pada awal kiprahnya di hindia Belanda kereta api menjadi sarana angkutan untuk mendukung percepatan arus perdagangan hasil industri perkebunan. Tujuan pengangkutan ini adalah untuk kepentingan ekspor sejak era berlakunya tanam paksa. Kereta api pada masa itu dianggap sebagai sebuah jawaban kebutuhan transportasi yang memadai. Karena sarana transportasi darat yang ada, yaitu Jalan Raya Pos (Groote-Postweg) tidak cukup. Jalan yang dibangun pada masa gubernur jenderal Daendels (1808-1811) itu dirasa kurang memadai lagi untuk mendukung kegiatan arus perdagangan. Jalur kereta api yang pertama dibangun adalah rute Semarang menuju Yogyakarta. Berikutnya dibangun rute kedua yang menghubungkan Batavia (Jakarta) dengan Buitenzorg (Bogor). Rute kedua ini dimulai pembangunannya pada tahun 1871. Pembangunannya dilakukan oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) atau Netherlands East Indies Railway Company.. Sebuah perusahaan jawatan kereta api Hindia Belanda. Setelah dibangun selama dua tahun, jalur ini akhirnya dibuka pada tanggal 31 Januari 1873. Jalur Batavia-Buitenzorg ini sangat menguntungkan tetapi disisi lain jalur ini terisolasi dengan jalur NIS lainnya. Yaitu jalur yang menghubungkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 1875 pemerintah Hindia Belanda mulai terlibat dalam pembangunan jalan kereta api ini. Alasan kepentingan stategis menjadi dasar pemerintah melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan NIS. Kemudian pemerintah membentuk perusahaan kereta Staatsspoor- en Tramwegen in Nederlandsch-Indische. Perusahaan ini kemudian pada tahun 1913 membeli jalur Jakarta-Bogor dari NIS. Selanjutnya kontruksi pembangunan rel kereta dari Bogor kembali diteruskan. Tahun 1881, bersamaan dengan difungsikannya Stasiun Bogor yang dibangun setahun sebelumnya. Jalur kereta di Bogor diteruskan kearah Cicurug. Kemudian berlanjut hingga mencapai Cilacap Jawa Tengah pada tahun 1888. Perubahan dunia kereta api kembali terjadi di Bogor. Era baru yang mewarnai kereta api di Bogor itu terjadi pada tahun 1925. Yaitu dengan dibangunnya kereta jalur listrik yang menghubungkan antara Jakarta dengan Bogor. Jalur kereta listrik ini memiliki kapasitas 1500 Volts DC. Pengadaan kereta jalur listrik ini bertepatan dengan ulang tahun SS (Staatsspoorwegen) yang ke lima belas.

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

SEJARAH SEKOLAH DI BOGOR


Penguasaan VOC atas Hindia Belanda menjadi awal dimulainya sejarah panjang pengerukan kekayaan nusantara oleh bangsa asing. Begitu kaya nya sumberdaya yang dimiliki negeri ini membuat bangsa asing berlomba-lomba masuk dan memiliki peran di wilayah nusantara pada masa itu.

VOC bubar pada 1796, pemerintah kerajaan Belanda masuk menggantikannya. Melalui penguasaan oleh Gubernur Jenderal, hindia Belanda menjadi koloni Belanda yang diakui oleh dunia. Akibatnya negeri ini menjadi penyuplai komoditi perdagangan untuk Belanda. Begitu berperannya nusantara ini akhirnya disadari oleh bangsa-bangsa asing. Munculah kesadaran untuk memberdayakan penduduk koloni. Pemberdayaan ini terkait dengan kebutuhan-kebutuhan sumberdaya manusia yang murah. Sumberdaya ini dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pengelolaan wilayah hindia Belanda.

Politik etis yang diterapkan pada tahun 1901 membuka peluang diterimanya pendidikan secara formal bagi pribumi. Sebelumnya pada tahun 1848, seorang menteri reformis Belanda bernama  Baron van Hoevell mengajukan berbagai petisi yang berisi tentang  kebebasan pers, sekolah umum lanjutan, dan perwakilan dari Hindia Belanda di dalam Badan legislatif. Sejak tahun tersebut mulai lah dilaksanakan sekolah kabupaten untuk mendidik dan melatih anak-anak bangsawan dan penguasa pribumi. Fasilitas sekolah mulai didirikan dibeberapa wilayah. Terutama di Pulau Jawa. Setelah sekolah kelas pertama untuk pribumi didirikan tahun 1893, Hindia Belanda mulai membuka sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijz) untuk pendidikan dasar pada tahun 1903. Selain MULO didirikan juga ELS (Europeesche Lagere School) tahun 1911.

ELS adalah sekolah dasar berbahasa Belanda untuk anak-anak Eropa dan anak-anak pembesar puncak pribumi. ELS memiliki fasilitas yang lebih dibanding sekolah lainnya. Gedung dibangun dengan memenuhi standar kesehatan Eropa, berpakaian dan berbahasa Belanda. ELS menjadi sekolah eksklusif karena dibangun pada wilayah yang terdapat anak-anak Eropa saja. Kemudian untuk bangsawan lainnya didirikan HIS (Hollands Inlanders School) dengan bangunan bertiang kayu dan dinding yang dilapis kapur di beberapa tempat. Sehingga dari kejauhan kelihatan bertembok.

Terkait dengan kepentingan pemerintah Belanda, selain pribumi dan Eropa tersedia juga sekolah untuk kelompok Tionghoa. Yaitu didirikan HCS (Hollandsch Cheneesche School), sekolah khusus kelompok Tionghoa yang berbahasa Belanda. Diharapkan akan muncul generasi Tionghoa yang berkiblat ke Eropa. Pendirian sekolah ini terkait dengan situasi di Cina dengan figur Sun Yat Sen.

Saat itu nasionalisme sebagai bangsa Cina sedang meningkat. Di Bogor sekolah umum MULO dibangun tahun 1918. Bangunan sekolah yang sekarang ditempati SMP 1 Bogor ini merupakan sarana pendidikan untuk mengakomodir pendidikan anak-anak pribumi bangsawan yang saat itu bermukim di Bogor.

Pada tahun 1920, diketahui MULO berada di Groote weg (Jl Juanda) dan di hospital weg (Gedong sawah). ELS muncul dibeberapa kawasan pemukiman Eropa di Pabaton, hospital weg dan Paledang. HCS berada di samping hotel Bellevue di tanjakan Empang. Lokasi sekolah ini juga berdekatan dengan kawasan konsentrasi pecinan. Adanya sekolah sekolah ini juga menunjang keberadaan Bogor sebagai pusat pemerintahan dan pusat penelitian. Beberapa sekolah lain juga muncul karena kebutuhan tersebut. Sekolah-sekolah tersebut pengelolaannya ada yang diluar pemerintah. Seperti Ursulinen School, Kartini School, Christen School. Sekolah dengan jenjang yang lebih tinggi juga muncul di Bogor. Yaitu Landbow School (sekolah pertanian) dan Veeartsen school (sekolah dokter hewan).

Pada tahun 1940 Bogor mulai memiliki lembaga pendidikan tinggi. Yaitu mulai didirikannya Landbow hogeschool di Tjiwaringin. Sekolah tinggi ini merupakan perubahan dari Landbow School. Kemudian pada 31 Oktober 1941 Landbouw Hogeschool menjadi Landbowkundige Faculteit dan Nederlandsch Indische Veeartsenschool (sekolah Kedokteran Hewan). Tahapan berikutnya pada tanggal 22 Agustus 1949 Prof. Dr. Ir. Thung mendirikan Sekolah Rakyat. Sekolah ini memiliki peran penting dalam pengembangan pendidikan di Bogor. Sekolah ini berubah menjadi SMP pada tahun 1949 dan menjadi SMA setahun kemudian.

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

ISTANA BOGOR


Pada suatu masa, selepas terjadinya kerusuhan di Batavia tahun 1744. Gustaff Willem Baron Van Imhoff, Penguasa pemerintah Hindia Belanda (VOC) mengadakan perjalanan ke Kampung Baru untuk melepas kepusingannya. Kampung Baru adalah sebuah kampung yang didirikan di Bogor setelah ekspedisi Scipio dan Tanuwijaya tahun 1607, membuka hutan Pajajaran. Dalam perjalanannya ini sang Gubernur Jendral begitu terkesima dengan keindahan dan kedamaian Kampung Baru. Tibalah rombongan Van Imhoff itu di sebuah tempat, sang Gubernur pun memutuskan untuk membangun sebuah tempat peristirahatan.

Lalu sebuah bangunan rumah peristirahatan dibangun ditempat ini kurun waktu 1744-1750. Bahkan Van Imhoff sendirilah yang membuat sketsa dan mengawal pembangunannya. Pembangunan awal istana ini berbentuk tingkat tiga, meniru arsitektur Blehheim Palace, di Inggris.  Sejak adanya rumah peristirahatan ini Bogor memiliki sebutan Buitenzorg, merujuk pada bahasa Belanda yang artinya ‘lepas dari kepenatan’.

Keberadaan Gubernur Jenderal dengan rumah peristirahatan ini berdampak pada pengaturan-pengaturan wilayah untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Pada 1752, saat terjadi peperangan antara Raja Banten melawan VOC, bangunan rumah peristirahatan ini tak luput dari serangan. Bangunan dihancurkan tanpa sisa, kecuali bagian sayap rumah. Setelah penghancuran barulah pada tahun 1754 Gubernur Jenderal Jacob Mossel membangun kembali rumah peristirahatan menjadi istana.  Pada masa pemerintahan William Daendels (1808-1811), bangunan istana ditambah menjadi bangunan bertingkat dua.

Tonggak penting keberadaan istana kembali terjadi ketika Thomas Stamford Raffles menetapkan istana Buitenzorg menjadi istana kediaman resmi pada tahun 1811. Sejak itulah Gubernur Jenderal lebih banyak memerintah dari istananya ini, meski pusat pemerintahan tetap berada di Batavia. Raffles jugalah yang berperan menata kebun istana yang menjadi cikal-bakal inisiasi Kebun Raya Bogor.

Tahun 1834 Istana ini sempat mengalami kerusakan akibat Gempa yang ditimbulkan letusan Gunung Salak. Setelah hancur yang kedua kalinya, barulah tahun 1850 Istana Bogor dibangun kembali, tetapi tidak bertingkat lagi karena disesuaikan dengan situasi daerah yang sering gempa itu. Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Albertus Jacob Duijmayer van Twist (1851-1856) bangunan lama sisa gempa itu dirubuhkan dan dibangun dengan mengambil arsitektur Eropa abad ke-19.

Pada tahun 1870, Istana Buitenzorg dijadikan tempat kediaman resmi dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Penghuni terakhir Istana Buitenzorg itu adalah Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborg Stachourwer yang terpaksa harus menyerahkan istana ini kepada Jenderal Immamura, pemeritah pendudukan Jepang tahun 1942.

Pada tahun 1950, setelah masa kemerdekaan, mulai dipakai oleh pemerintah Indonesia, dan resmi menjadi salah satu dari Istana Presiden Indonesia. Sejak itu nama Istana Kepresidenan Bogor atau Istana Bogor mulai populer digunakan.

Berangsur angsur, bentuk bangunan Istana Bogor telah mengalami berbagai perubahan. sehingga yang tadinya merupakan rumah peristirahatan berubah menjadi bangunan istana dengan luas halamannya mencapai 28,4 hektar dan luas bangunan 14.892 m².

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

BOGOR TAHUN 1945


Enam puluh lima tahun yang lalu, saat Republik mulai akan berdiri. Kota Bogor masih dalam cengkraman penguasa Nippon (Jepang). Situasi kota yang sebelumnya “Buitenzorg” (dalam istilah Belanda artinya lepas dari kepenatan) tak ubahnya seperti situasi di kota-kota lain. Mencekam dan tak lepas dari kekerasan dan kekejaman penguasa saat itu. Penduduk Bogor tidak memiliki kebebasan untuk beraktifitas. Semua fasilitas yang diduduki oleh tentara Nippon langsung berubah menjadi aset militer mereka. Seperti Hotel Dibbet (sekarang Hotel Salak) yang dijadikan markas Kenpeitai, Istana Bogor, Hotel Bellevue, Stasiun dan lainnya.

Suatu saat muncullah peluang mendapat pengakuan sebagai bangsa merdeka. Berawal dari munculnya selebaran dari  kapal udara sekutu pada akhir September 1944. Selebaran itu berisi pemberitahuan perihal kedatangan sekutu di Jawa.  Melihat kondisi ini pemerintah Jepang pun berusaha menarik simpati penduduk dengan membolehkan pemasangan bendera merah putih. Lalu keluarlah aturan pemasangan bendera termasuk janji kemerdekaan dalam arti tidak lepas dari ikatan dengan kekaisaran Jepang. Peraturan ini diumumkan di Warta Bogor Shu  bertanggal 14 September 1944. Sejak itu berangsur-angsur diberi izin mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Terbukanya peluang dan janji kemerdekaan telah mendorong  utusan Kantor Besar Djawa Hooko Kai pergi ke berbagai tempat, untuk mengadakan pidato dalam berbagai rapat tertutup dan rapat umum tentang Kemerdekaan Indonesia di kemudian hari. Di Bogor utusan dilakukan oleh Mr. R. Samsoedin yang datang pada pada 3 Oktober 1944. Saat itu pidatonya disampaikan R. Oto Iskandar Dinata.

Provokasi Sekutu Pagi itu sekitar jam 09.50 tanggal 26 Januari 1945, sebuah pesawat terbang sekutu terbang tinggi dari arah Selatan menyerbu daerah Bogor. Sekitar jam 10.00 kelihatan lagi 6 buah pesawat terbang musuh berputar-putar di Gunung Batu. Kemudian Jam 10.30 pesawat tersebut melarikan diri ke arah Selatan tanpa menjatuhkan bom atau selebaran apapun.

Pada masa itu golongan peranakan Belanda ditempatkan oleh tentara Dai Nippon di suatu daerah di Bogor yang diberi nama Zyenryo Kukonketu Juumin Noogyo Tikusan Imin Dogyoâ (tempat pertanian golongan peranakan), kemungkinan pengelompokkan dalam satu lokasi tersebut untuk memudahkan pengawasan dan menjadi sandera.

Ir Soekarno Tanggal 16 Maret 1945 mengunjungi Bogor dari Karesidenan Banten. Beliau seperti biasa memberikan pidato menyala-nyala tentang pentingnya perang Asia Timoer Raja, semangat perjuangan, dan tidak lupa menyanyikan Indonesia Raya.

Tanggal 18 Mei 1945 dilangsungkan rapat umum di Midori Gekizya Bogor, yang dihadiri  para pembesar Nippon dan Indonesia. Turut hadir pula sekitar 500 penduduk lelaki dan perempuan dari semua golongan. Dalam rapat tersebut disebutkan bahwa sikap Pemerintah Agung Dai Nippon terhadap Indonesia adalah seperti sikap Ibu-Bapak terhadap anaknya. Juga bahwa Bangsa Indonesia merupakan seketurunan dengan Bangsa Nippon. Seterusnya disampaikan juga perihal tentang kemerdekaan Indonesia yang di hari kemudian harus tetap memegang sifat ketimurannya dan menjadi keluarga Asia Timoer Radja yang sejati. Rapat umum ditutup oleh pidato Toean Gatot Mangkupradja.

Pada 6 Agustus 1945 sebuah bom dijatuhkan di Hiroshima, kemudian 9 Agustus 1945 bom itu jatuh di Nagasaki. Atas pengeboman tersebut tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah. Berita penyerahan Jepang inilah yang akhirnya memicu pernyataan kemerdekaan atau proklamasi pada 17 Agustus 1945, jam 10.00 di Jalan Pegangsaan Timur no. 56.

Setelah kemerdekaan berkumandang, gerakan ambil alih segala aset dari Jepang oleh Repoeblik dilaksanakan berangsur-angsur mulai dari perorangan hingga kelompok. Beberapa gedung didatangi dan ditempel dengan tulisan milik Repoeblik, bendera Jepang diturunkan, atau dengan mengusir orang Jepang.

Oktober 1945, situasi kota Bogor sangat genting. Sekutu dengan pimpinan tentara Inggris dan Gurkha memasuki daerah Bogor, yang kesempatannya juga ditunggangi oleh tentara NICA. Pertama kali yang mereka datangi adalah tangsi Batalyon XVI bekas tentara Jepang yang sudah dikosongkan. Tentara Inggris dan Gurkha kemudian melebarkan kekuasaannya dengan menduduki Kota Paris, tempat nyonya-nyonya dan anak-anak Belanda (RAPWI/ Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees) dikumpulkan. Dalam waktu singkat Kota Paris dapat direbut dengan mudah oleh tentara Inggris.

Sikap tentara Inggris yang sombong justru menyakitkan hati rakyat. Pada tanggal 6 Desember 1945, terjadilah pemberontakan oleh seluruh masyarakat Bogor. Mereka hanya bersenjatakan bambu runcing, golok, pedang dan senjata ala kadarnya. Peperangan ini berlangsung sengit dan menggetarkan, terutama di sekitar Istana Bogor dan Kota Paris. Lalu pada tanggal 21 Desember, sebanyak 250 serdadu Gurkha yang bersenjata lengkap  tank dan truk menuju Keboen Radja dan Kota Paris, rupanya mereka hendak menggulung kawat-kawat telepon yang mereka pasang karena Kota Paris sudah dikosongkan. Sementara di atas Kota Bogor melayang pesawat udara yang menjatuhkan sebuah surat kabar Kebenaran no. 27 yang berisi berbagai berita dunia. Orang yang mendapatkan surat kabar tersebut segera menyerahkannya kepada yang berwajib.

Ditengah situasi Kota Bogor yang kian memanas itu, Kapten Muslihat bersama pasukannya melakukan penyerangan ke markas-markas yang diduduki tentara Inggris dan Gurkha. Pada  tanggal 25 Desember 1945, Kapten Muslihat bersama pasukannya  menyerang  kantor Polisi yang terletak di Djalan Banten (sekarang jalan Kapten Muslihat), dalam penyerangan tersebut Kapten Muslihat gugur.

Antara Jepang, Sekutu dan Kapten Muslihat Enam puluh lima tahun yang lalu, saat Republik mulai akan berdiri. Kota Bogor masih dalam cengkraman penguasa Nippon (Jepang). Situasi kota yang sebelumnya Buitenzorg (dalam istilah Belanda artinya lepas dari kepenatan) tak ubahnya seperti situasi di kota-kota lain. Mencekam dan tak lepas dari kekerasan dan kekejaman penguasa saat itu. Penduduk Bogor tidak memiliki kebebasan untuk beraktifitas. Semua fasilitas yang diduduki oleh tentara Nippon langsung berubah menjadi aset militer mereka. Seperti Hotel Dibbet (sekarang Hotel Salak) yang dijadikan markas Kenpeitai, Istana Bogor, Hotel Bellevue, Stasiun dan lainnya. Suatu saat muncullah peluang mendapat pengakuan sebagai bangsa merdeka. Berawal dari munculnya selebaran dari  kapal udara sekutu pada akhir September 1944.

Selebaran itu berisi pemberitahuan perihal kedatangan sekutu di Jawa.  Melihat kondisi ini pemerintah Jepang pun berusaha menarik simpati penduduk dengan membolehkan pemasangan bendera merah putih. Lalu keluarlah aturan pemasangan bendera termasuk janji kemerdekaan dalam arti tidak lepas dari ikatan dengan kekaisaran Jepang.

Peraturan ini diumumkan di Warta Bogor Shu  bertanggal 14 September 1944. Sejak itu berangsur-angsur diberi izin mengibarkan bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.Terbukanya peluang dan janji kemerdekaan telah mendorong  utusan Kantor Besar Djawa Hooko Kai pergi ke berbagai tempat, untuk mengadakan pidato dalam berbagai rapat tertutup dan rapat umum tentang Kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.

Di Bogor utusan dilakukan oleh Mr. R. Samsoedin yang datang pada pada 3 Oktober 1944. Saat itu pidatonya disampaikan R. Oto Iskandar Dinata.Provokasi SekutuPagi itu sekitar jam 09.50 tanggal 26 Januari 1945, sebuah pesawat terbang sekutu terbang tinggi dari arah Selatan menyerbu daerah Bogor. Sekitar jam 10.00 kelihatan lagi 6 buah pesawat terbang musuh berputar-putar di Gunung Batu.

Kemudian Jam 10.30 pesawat tersebut melarikan diri ke arah Selatan tanpa menjatuhkan bom atau selebaran apapun.Pada masa itu golongan peranakan Belanda ditempatkan oleh tentara Dai Nippon di suatu daerah di Bogor yang diberi nama “Zyenryo Kukonketu Juumin Noogyo Tikusan Imin Dogyo” (tempat pertanian golongan peranakan), kemungkinan pengelompokkan dalam satu lokasi tersebut untuk memudahkan pengawasan dan menjadi sandera. Ir Soekarno Tanggal 16 Maret 1945 mengunjungi Bogor dari Karesidenan Banten.

Beliau seperti biasa memberikan pidato menyala-nyala tentang pentingnya perang Asia Timoer Raja, semangat perjuangan, dan tidak lupa menyanyikan Indonesia Raya.Tanggal 18 Mei 1945 dilangsungkan rapat umum di Midori Gekizya Bogor, yang dihadiri  para pembesar Nippon dan Indonesia.

Turut hadir pula sekitar 500 penduduk lelaki dan perempuan dari semua golongan. Dalam rapat tersebut disebutkan bahwa sikap Pemerintah Agung Dai Nippon terhadap Indonesia adalah seperti sikap Ibu-Bapak terhadap anaknya. Juga bahwa Bangsa Indonesia merupakan seketurunan dengan Bangsa Nippon.

Seterusnya disampaikan juga perihal tentang kemerdekaan Indonesia yang di hari kemudian harus tetap memegang sifat ketimurannya dan menjadi keluarga Asia Timoer Radja yang sejati. Rapat umum ditutup oleh pidato Toean Gatot Mangkupradja.6 Agustus 1945 sebuah bom dijatuhkan di Hiroshima, kemudian 9 Agustus 1945 bom itu jatuh di Nagasaki. Atas pengeboman tersebut tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah.

Berita penyerahan Jepang inilah yang akhirnya memicu pernyataan kemerdekaan atau proklamasi pada 17 Agustus 1945, jam 10.00 di Jalan Pegangsaan Timur no. 56.Setelah kemerdekaan berkumandang, gerakan ambil alih segala aset dari Jepang oleh Repoeblik dilaksanakan berangsur-angsur mulai dari perorangan hingga kelompok.

Beberapa gedung didatangi dan ditempel dengan tulisan milik Repoeblik, bendera Jepang diturunkan, atau dengan mengusir orang Jepang.Oktober 1945, situasi kota Bogor sangat genting. Sekutu dengan pimpinan tentara Inggris dan Gurkha memasuki daerah Bogor, yang kesempatannya juga ditunggangi oleh tentara NICA.

Pertama kali yang mereka datangi adalah tangsi Batalyon XVI bekas tentara Jepang yang sudah dikosongkan. Tentara Inggris dan Gurkha kemudian melebarkan kekuasaannya dengan menduduki Kota Paris, tempat nyonya-nyonya dan anak-anak Belanda (RAPWI/ Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees) dikumpulkan.

Dalam waktu singkat Kota Paris dapat direbut dengan mudah oleh tentara Inggris.Sikap tentara Inggris yang sombong justru menyakitkan hati rakyat. Pada tanggal 6 Desember 1945, terjadilah pemberontakan oleh seluruh masyarakat Bogor. Mereka hanya bersenjatakan bambu runcing, golok, pedang dan senjata ala kadarnya.

Peperangan ini berlangsung sengit dan menggetarkan, terutama di sekitar Istana Bogor dan Kota Paris. Lalu pada tanggal 21 Desember, sebanyak 250 serdadu Gurkha yang bersenjata lengkap  tank dan truk menuju Keboen Radja dan Kota Paris, rupanya mereka hendak menggulung kawat-kawat telepon yang mereka pasang karena Kota Paris sudah dikosongkan. Sementara di atas Kota Bogor melayang pesawat udara yang menjatuhkan sebuah surat kabar ’Kebenaran no. 27’ yang berisi berbagai berita dunia.

Orang yang mendapatkan surat kabar tersebut segera menyerahkannya kepada yang berwajib. Ditengah situasi Kota Bogor yang kian memanas itu, Kapten Muslihat bersama pasukannya melakukan penyerangan ke markas-markas yang diduduki tentara Inggris dan Gurkha. Pada  tanggal 25 Desember 1945, Kapten Muslihat bersama pasukannya  menyerang  kantor Polisi yang terletak di Djalan Banten (sekarang jalan Kapten Muslihat), dalam penyerangan tersebut Kapten Muslihat gugur.

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

WITTE PALL


Witte Pall dibangun pada tahun 1839 oleh Gubernur Jendral D.J de Eerens yang memerintah antara tahun 1836-1840. Pembangunan tugu tersebut dimaksudkan sebagai peringatan kembalinya Buitenzorg (Bogor) dari tangan penguasa Inggris kepada Belanda. Selain sebagai monumen peringatan, pilar ini juga berfungsi sebagai salah satu titik triangulasi primer pulau Jawa. Yaitu titik koordinat penentuan letak sebuah lokasi berdasarkan tinggi permukaan laut. Pilar di Bogor ini sebagai titik triangulasi primer yang menandai dengan resmi tinggi letak kota Bogor di atas permukaan laut. Sebuah angka yang mutlak diperlukan bagi pembuatan peta topografi. Semua pengukuran tanah untuk pembuatan peta yang serius dan bermutu geografi Internasional seyogyanya menggunakan titik triangulasi primer ini sebagai patokan.

Pada tahun 1958 Pilar ini memasuki masa-masa terakhir kejayaannya, saat itu menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1958 seorang anggota panitia setempat mengusulkan agar semua sisa-sisa kolonialisme Belanda dimusnahkan. Wacana penghancuran itu bergulir dan memasukkan Witte Paal sebagai salah satunya. Enam tahun kemudian atau tahun 1964 pilar ini di dinamit sampai rata dengan tanah. Bekas tempatnya yang kosong kemudian dibangun kolam bulat, lengkap dengan air mancurnya. Ketika Ratu Sirikit dari Muangthai (Thailand) berkunjung ke Indonesia pada tahun yang sama, beliau dipandang perlu untuk diminta berhenti sejenak perjalanannya dari Jakarta ke Bogor, agar menikmati air mancur.

Pada masa pendudukan sekutu, bangunan ini seakan menjadi obyek menarik para tentara untuk berfoto-foto ria. Hingga saat ini pun dilokasi tersebut walaupun telah berubah bentuk & fungsinya, namun tetap selalu dapat dinikmati warga Bogor, khususnya kalangan anak muda.

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor

SEJARAH KANTOR POS BOGOR


Sebagai sebuah kota, Buitenzorg atau yang dikenal dengan Bogor memiliki beragam fasilitas publik yang cukup memadai semenjak tahun 1800an. Terbukti berbagai tinggalan yang dimiliki beberapa diantaranya masih terlihat kokoh berdiri. Keberadaan Paleis Buitenzorg yang dibangun tahun 1745 menjadi alasan utama munculnya berbagai fasilitas-fasilitas publik seperti Stasiun, Rumah Sakit, pasar, sekolah, tempat hibuan, Kantor Pos, Hotel, Restoran dan lain-lain. Termasuk juga rumah ibadah.

Bogor pada tahun 1800an memiliki penduduk yang terdiri dari bangsa-bangsa Eropa, Asia dan pribumi. Keberadaan orang Eropa yang sebagian besar menganut ajaran protestan dan katolik, menuntut akan keberadaan rumah ibadah bagi mereka, yaitu gereja. Pada tahun 1845 di dirikan sebuah Gereja yang pemberkatannya dilakukan pada 13 April 1845. Gereja Simultan / ekumene yang terletak di Groote Post Weg (Jalan Raya Pos) atau yang sekarang dikenal dengan Jl. Juanda, digunakan oleh umat Katholik dan Protestan secara bersamaan. Kemudian pada tahun 1896, dengan kemampuannya sendiri umat Katholik berhasil membangun Gereja sendiri dan memisahkan diri dari Gereja Simultan. Lalu enam puluh tiga tahun kemudian (1920) umat Protestan juga mendirikan Gereja sendiri yang menampung lebih banyak jemaat di lingkungan Istana Bogor. Setelahnya, bangunan yang sebelumnya dijadikan Gereja Bersama, akhirnya tidak dipakai untuk ibadah lagi.

Untuk memfungsikannya kembali, pemerintah menggunakan gedung bekas Gereja ini sebagai Kantor Pos. Saat itu jawatan pos masih dalam pengelolaan PTT (Post Telegraaf Telefoon). Perusahaan inilah yang mengkonsolidasikan seluruh jaringan komunikasi di Hindia Belanda, termasuk di Bogor. Tercatat Bogor memiliki kabel telegraph sejak 1857. Dimana hingga tahun 1920an kantor pos dan telegraph lokasinya berada di Station gebouw (bangunan stasiun). Catatan peta 1920 menunjukkan lokasi ini berada di sayap kiri gedung Stasiun. Barulah kemudian menempati gedung bekas Gereja yang sudah tidak digunakan tadi. Lokasinya yang berada di jalan Raya Pos dan bersebelahan dengan Kebun Raya Bogor memudahkan penduduk kota saat itu untuk mengaksesnya. Bangunan itu hingga kini masih berfungsi sebagai kantor pos. Menjadi akses utama warga kota Bogor untuk berkirim dokumen, surat dan keperluan lainnya.

Tinggalkan komentar

Filed under Sejarah Bogor